Thursday, March 14, 2019

Sinopsis The Night Comes for Us (2018)

Sinopsis The Night Comes for Us (2018)


Sinopsis Film :

Sinopsis serta Penjelasan Film The Night Comes For Us – Dalam satu interviu yang saya kerjakan dengan Timo Tjahjanto pada tahun 2017, dalam pertanyaan mengenai daya tarik kekerasan di monitor, ia mengatakan: “Kekerasan bicara pada saya dengan gampang, serta saya fikir sangat gampang, hingga saya temukan diri saya seringkali berusaha keras untuk meredam diri. 

Saya fikir di situlah Kimo (Stamboel, separuh yang lain dari Mo Brothers) umumnya hadir untuk bermain, ia ialah orang yang membuat interval pada kekerasan-throttle saya ”. Yah, sebut saja jika Kimo tidak dapat diketemukan di film ini. 

Pada puncak kekuasaannya, Triad Asia Tenggara mengatur 80% pekerjaan penyelundupan di Asia. Manfaatkan Segitiga Emas yang populer menjadi pusat penting, Triad memperoleh banyak keuntungan dari obat-obatan terlarang, senjata serta perdagangan manusia. 

Untuk mengawasi aliran bebas dari kericuhan serta masalah luar, beberapa pemimpin Triad membuat susunan kecil dari delegasi elit yang dimaksud Six Seas, yang sangat mungkin mereka berkuasa bebas untuk bertindak ekstrim, semua atas nama ketertiban serta kepatuhan. Six Seas ialah enam pria serta wanita, semua jati diri mereka anonim. 

Sesudah menghajar satu desa menjadi respon atas uang Triad yang dicuri, Ito, satu diantara The Six Seas, temukan korban paling akhir, seseorang gadis muda bernama Reina. Saat tentara Triad akan membunuhnya, Ito justru membunuh mereka semua, serta melukai dianya. Kembali pada apartemennya bersama dengan gadis itu, dia melawan pacar geram, Sinta, yang pada akhirnya menyebut bekas partnernya, Fatih, Wisnu, serta Bobby, pecandu kokain. 

Keempatnya saat ini mesti melawan beberapa musuh yang di pimpin oleh Chien Wu, termasuk juga dua pembunuh wanita, Alam serta Elena, serta seseorang rekanan lama, Arian, yang Wu ingat dari China ke Indonesia untuk arah spesial. Pada akhirnya, wanita lainnya dengan agenda baru yang berlainan, yang menyebutkan dianya “The Operator”, pun membuat penampilannya. 

Timo Tjahjanto mengarahkan satu film yang didominasi oleh dua komponen, yang sebetulnya sama-sama lengkapi: tindakan serta kekerasan. Tentang yang pertama, orang cuma bisa mengaku jika pekerjaan yang dikerjakan pada koreografi tindakan serta tindakan (oleh Iko Uwais serta timnya) lebih dari mengesankan, dengan mereka selalu temukan beberapa cara baru serta “trik” untuk menerapkan, satu karakter yang cukuplah tampak di “Headshot”. 


Lewat cara itu, apapun dapat dipakai menjadi senjata, dari tulang binatang (dalam adegan di toko daging) sampai bola biliar serta bahkan juga sinyal yang bertuliskan “Hati-Hati Lantai Basah”. Senjata “normal” di sini tentunya, termasuk juga senapan, parang, tapi yang sangat terpenting, semua type pisau, yang memberi adegan sangat mengesankan di film, dengan tangan-ke-tangan. 

Tindakan ini ikuti strategi “ikan yang lebih besar”, dimana beberapa pejuang yang lebih kuat selalu muncul, dengan adegan dimana benturan terkuat jadi yang sangat mengesankan, dengan bukti jika beberapa dari mereka berlangsung di ruangan sempit, di koridor serta apartemen kecil, memberikan banyak efek yang mereka punya. Dalam model itu, sinematografi Gunnar Nimpuno begitu baik dalam tangkap kerumitan serta kecepatan pertempuran, yang sangat diimplementasikan oleh pengeditan Arifin Cuunk yang cemas. Tjahjanto pun masukkan adegan singkat yang memperingatkan saya banyak mengenai pengantar dalam “The Villainess”, sesaat yang sangat mengesankan termasuk juga yang sangat panjang, satu diantara dua wanita, serta semua yang termasuk juga Bobby. 

Aktingnya sangat tinggi untuk jenis ini, dengan Iko Uwais menjadi Arian serta Joe Taslim yang bagus tetapi tersiksa sebab Ito yang capek serta putus harapan memberi tampilan yang begitu cocok, yang memberikan beberapa komponen thriller ke film. Beberapa orang yang mengambil perhatian, bagaimana juga, ialah aksi sekunder, dengan Julie Estellle menjadi Operator (misterius), Cerah Pang menjadi skema basic dari “penjahat luhur” menjadi Chien Wu, Hannah Al Rashid menjadi Elena sesat serta sadis serta Zack Lee menjadi “binatang” yang ketagihan narkoba, Bobby jadi orang yang mengusung film ke puncak jenis. 

Tentang kekerasan film, saya mesti menjelaskan jika ini ialah salah satunya film tindakan sangat berdarah yang sempat ada. Gabungan gore, nada yang kuat (cuma dengarkan nada tulang yang patah serta Anda akan tahu apakah yang saya tujuan), serta penusukan leher berulang, membuahkan beberapa adegan ultraviolen, dimana darah nampaknya isi semua monitor. Dapat dibuktikan, bukan film untuk yang lemah hati.

No comments:

Post a Comment